Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga,
Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937
Dasar Dasar Pendidikan
1.
Arti dan
Masksud Pendidikan
Kata
‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama- sama. Sebenarnya
gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah,
pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan
‘pengajaran’ (onderwijs)
itu merupakan salah satu
bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi
ilmu atau berfaedah
buat hidup anak-anak, baik
lahir maupun batin.
Sekarang
saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan
‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis
pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud
dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai
keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat- syarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki
dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut
pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis
pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya
anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun
sebagai anggota masyarakat.
2.
Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat,
bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak
kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar
kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda
hidup, sehingga
mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan
sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup
batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum
pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya
(bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian
tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang
petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang
menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya
padi, ia dapat memperbaiki
kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi
ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan
tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat- iradatnya
padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh
sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi
tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman
kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi
yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar
daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap
mustahil. Demikianlah pendidikan itu, walaupun
hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya
anak-anak sangatlah besar.
3.
Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh
yang muncul dari beragam jenis
keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba
kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan
budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan
tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian,
sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut
ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya
‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan
garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.
Mengenai perlu tidaknya tuntunan
dalam kehidupan manusia,
sama artinya dengan soal perlu tidaknya
pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan
sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu
akan menambah baiknya keadaan tanaman.
Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya
tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya
baik), tidak akan dapat
tumbuh baik karena pengaruh keadaan.
Sebaliknya kalau sebutir
jagung tidak baik dasarnya,
akan tetapi ditanam
dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
4.
Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampirtidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran
negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai
kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan
dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya
dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh- pengaruh yang jahat tidak
mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak
pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada
di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang
terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh,
tetapi semua tulisan-tulisan itu suram.
Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik,
agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang
mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible,
yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah
menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan
bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia
(bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah
lagi selama hidup.
Yang disebut
intelligible yang
dapat berubah karena pengaruh
misalnya kelemahan pikiran,
kebodohan, kurang baiknya pemandangan,
kurang cepatnya berpikir
dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan
pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut
‘biologis’ yang tak dapat berubah
ialah bagian-bagian jiwa mengenai
‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras
malu, rasa kecewa, rasa iri,
rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa
itu tetap pada di dalam jiwa manusia,
mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa.
Seringkali
anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera
hilang rasa takut
tersebut. Sebenarnya anak itu bukan
berubah menjadi
orang yang berwatak
pemberani, hanya saja rasa
takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran.
Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga
dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal
inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki
anak tersebut. Karena
ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang
diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak
bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan
takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.
Demikian
pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan
sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat
menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak
(dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang
asli itu akan muncul dengan sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak bologis
dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia
sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh
lainnya, seharusnya berbudi
dermawan. Namun demikian,
jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan
selalu keliatan kikir, walaupun orang
tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh
pendidikannnya yang baik).
Semasa ia tidak sempat berpikir,
tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan.
Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik
itu berputus asa kerana menganggap tabiat- tabiat yang biologis
(hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai
diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan
tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat
mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan),
maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis
tadi.
Oleh
karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching)
merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut
pengajaran adat atau etika.
Kita
sekarang sampai pada pembahasan ‘budi
pekerti’ atau ‘watak’ diartikan
sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’,
yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi
pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran,
timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti
bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia,
sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang
satu dengan yang lainnya.
Budi pekerti,
watak, atau karakter
merupakan hasil dari bersatunya
gerak pikiran, perasaan, dan kehendak
atau kemauan sehingga
menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti
pikiran- perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan
sifat jiwa manusia,
mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.
Dengan
adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan,
maupan dalam arti neutraliseeren (menutup,
mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama
sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah
kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat
kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula
bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya dengan
roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat
membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai
ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.
Pembagian budi pekerti menjadi
beberapa jenis tesrbut
berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis).
kemudian, tiga
sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis);
sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu
pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr.
Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan
disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis
berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun
Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi
6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat
orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2.
Agama (religious mench), 3. Keindahan
(kunstmensch), 4. Kegunaan atau
faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau
kenyataan (wetenschaps) dan 6.
Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale
mensch).
Selain
dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi
pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak
orang tersebut (Prof. Kretschner),
seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang
mengukur budi- pekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya
sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai
sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel).
Ada pula yang mengadakan pembagian introversen
dan exroversen (Jung), yaitu
orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri,
atau yang memandang
ke arah luar, dan demikianlah
seterusnya.
Dalam
soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa
tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka,
rambutnya, warna kulitnya, pendek- tingginya badan, dan lain-lain). Jangan
dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan
segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.
8.
Naluri Pendidikan
Setelah
ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan
dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan
alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab
pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap
keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan
dari
tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap
manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya
naluri yang pokok (oerinstinct), yang
bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).
Pendidikan
yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali
dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata
lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka
keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida
berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga
hal ini berarti
kurang luar (eenzijdig).
9.
Syarat-Syarat Pengetahuan
Pendidikan
yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu
Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan
tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat
pendidikan (hulpwetenschappen), yang
terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:
1. Ilmu hidup batin manusia
(ilmu jiwa, psychologie);
2. Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);
3. Ilmu keadaan
atau kesopanan (etika atau moral);
4. Ilmu keindahan
atau ketertiban-lahir (estetika);
5. Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar
cara-cara Pendidikan)
Untuk memahami
perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan
tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan
yang dalam dan luas tentang hakikat atau keadaan
kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir
wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh
dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena
pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan
batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2.
Seorang
pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran- ukiran) yang baik, harus mengerti tentang
keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus
mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika),
karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat
no.3 dan no.4)
Akhirnya,
seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus kalau
ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya,
baik zaman sekarang
maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di
negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.
Dengan
mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan
sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri
yang panjang, lebar dan terang.
10.
Peralatan Pendidikan
Yang
dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik.
Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada
dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:
1. Memberi contoh (voorbeld);
2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan
dan hukuman (regearing en tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni,
ngrasa, beleving).
Cara-cara
tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat
dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4
(perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara
saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaan- keadaan tertentu, misalnya
disesuaikan dengan umur anak-anak didik.
11.
Hubungan dengan Umur
Untuk
keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari
7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu
pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua
(7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa
ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale
periode).
Apabila
alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat
disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:
a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;
b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c) Masa ke-3:
cara no. 5 dan
no.6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar